Diantara adab yang perlu dijaga oleh seorang muslim saat hendak
sholat, ia memakai baju yang sopan, dan sesuai syari’at, karena ia akan
bermunajat dengan Allah Robbul alamin. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا يُصَلِّيْ أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu
pakaian, sehingga tidak ada sedikitpun pakaian yang menutupi kedua
bahunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (359), dan Muslim dalam Shohih-nya (516)]
Ibnu QudamahAl-Maqdisiy -rahimahullah- berkata, “Orang
yang shalat, wajib meletakkan suatu pakaian di atas bahunya, jika dia
mampu menutupinya. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir. Disebutkan dari
Abu Ja’far (ia berkata), “Sesungguhnya shalat itu tidak memenuhi bagi
siapa yang tidak menutupi kedua bahunya. Kebanyakan fuqaha berkata,“Yang
demikian itu tidak wajib dan bukan menjadi syarat sahnya shalat. Ini
pendapat Malik, as-Syafi’iy dan yang lainnya, sebab keduanya bukan
aurat. Maka anggota badan yang lain diserupakan dengannya”. [Lihat Al-Mughni(1/618)]
Larangan yang ada pada hadits yang lalu mengharuskan pengharaman hal itu, dan diutamakan di atas qiyas. Sedangkan madzhab jumhur mengatakan, “Tidak membatalkan shalatnya”. Tetapi mereka berkata, “Larangan ini adalah untuk menyatakan makruh, bukan larangan haram.
Maka kalau seseorang shalat dengan satu pakaian yang telah menutupi
auratnya, meskipun tidak ada satu pun pakaian yang menutupi bahunya,
shalatnya tetap sah dan perbuatan itu dibenci (makruh), baik dia mampu
menjadikan sesuatu sebagai penutup bahunya ataupun tidak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/232)]
Al-Kirmaniy -rahimahullah- telah keliru, karena dia mendakwakan adanya ijma’ tentang bolehnya tidak menutupi bahu (dalam shalat)!!! [Lihat Fath Al-Bari (1/472)]
Perkataannya terbantah oleh madzhab Ahmad dan Ibnul Mundzir
–sebagaimana yang telah kami jelaskan- dan sebagian ulama salaf, serta
kelompok yang sedikit dan sebagian ahli ilmu. [LihatSyarh Shohih Muslim (4/232), Al-Majmu' (3/175), dan Jami' At-Tirmidziy (1/168)]
Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- telah memberikan komentar terhadap pernyataan Al-Kirmaniy seraya berkata, “Demikianlah
yang dikatakan oleh Al-Kirmaniy!! Dia telah lupa terhadap penjelasan
yang baru disebutkan dari An-Nawawi tentang keterangan yang telah kami
nukilkan dari Ahmad. Sesungguhnya Ibnul Mundzir telah menukil dari
Muhammad bin ‘Ali tentang larangan tidak menutupinya. Ucapan
At-Tirmidziy juga menunjukkan adanya khilaf (perbedaan). Ath-Thahawiy
membuatkan bab tentang hal ini dalam Syarhul Ma’aniy[1/377] dan
menukil adanya larangan dalam perkara itu dari Ibnu Umar, kemudian dari
Thawus dan An-Nakha’iy. Selain Ath-Thohawiy telah menukilkan dari Ibnu
Wahb dan Ibnu Jarir. Syaikh Taqiyuddin As-Subkiy telah menukil tentang
wajibnya perkara itu dari teks ucapan Asy-Syafi’iy dan dia telah
memilihnya. Tetapi yang telah diketahui dalam kitab-kitab
Asy-Syafi’iyyah bukan itu”. [Lihat Fath Al-Bari (1/472)]
Al-Qodhi-rahimahullah- telah berkata, “Sungguh
telah ternukil riwayat dari Ahmad yang menunjukkan bahwa perkara
tersebut tidak termasuk syarat shalat dan dia telah mengambil pendapat
itu dari riwayat Mutsanna dari Ahmad tentang orang yang shalat memakai
sirwal (celana lebar) dan pakaiannya menutupi salah satu dari kedua
bahunya, dan yang lainnya terbuka, “Dimakruhkan”. Lalu ditanyakan kepada
beliau, “Dia disuruh mengulangi (sholatnya)?” Maka beliau tidak
berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Jawaban ini mengandung kemungkinan, bahwa dia tidak berpendapat
wajibnya mengulangi shalat, karena orang itu telah menutupi sebagian
dari kedua bahunya. Maka dicukupkan menutupi salah satu dari kedua
bahunya, karena dia telah menjalankan lafazh hadits tersebut.”
Sisi persyaratan dari pendapat ini: sesungguhnya dia dilarang
shalat dalam keadaan kedua bahunya terbuka. Larangan itu mengandung
adanya kerusakan pada sesuatu yang dilarang, karena menutupinya adalah
perkara yang wajib dalam shalat. Maka membiarkannya terbuka akan merusak
shalatnya. Sebagaimana hukum menutupi aurat”. [Lihat Al-Mughni 1/619]
Akan tetapi, tentunya tidak wajib menutupi kedua bahu seluruhnya;
sebaliknya cukup menutupi sebagiannya. Demikian juga cukup menutupi
kedua bahu dengan pakaian tipis, yang menampakkan warna kulit, karena
kewajiban menutupi keduanya berdasarkan hadits tersebut bisa terjadi
dalam keadaan ini serta keadaan sebelumnya, maksudnya: baik dia
menutupkan pakaian pada kedua bahunya atau tidak. [Lihat Al-Mughni (1/619)]
Sungguh kami telah sebutkan teks dari Imam Ahmad tentang orang yang
shalat dalam keadaan salah satu dari kedua bahunya terbuka, maka dia
tidak berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Dalam hal ini para fuqaha berkata, “Jika seseorang melekatkan tali atau yang sejenisnya pada bahunya, apakah telah mencukupi?”
Lahiriah pendapat Al-Khiroqiy-rahimahullah- yang berbunyi, “Jika di atas bahunya ada sedikit pakaian,” tidak mencukupinya. Karena perkataannya: “…sedikit pakaian”, sedang tali seperti ini tidak dinamakan pakaian.
Inilah pendapat Al-Qadhi Abu Ya’laa. Sedang Ibnu Qudamah membenarkannya seraya berkata,“Yang benar, yang demikian itu tidak mencukupinya, karena nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِيْ ثَوْبٍ فَلْيُخَالِفْ بِطَرَفَيْهِ عَلَى عَاتِقَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat dengan satu pakaian,
maka hendaklah dia menyilangkan di antara kedua tepinya di atas kedua
bahunya.” [HR. Abu Dawud (627)]
Karena perintah meletakkan kain pada kedua bahu untuk
menutupinya. Maka tidak cukup hanya dengan menempelkan tali dan itu
tidak dinamakan sebagai penutup”. [Lihat Al-Mughni (1/620)]
Dari sini, diketahuilah kesalahan sebagian orang yang shalat,
khususnya shalat pada musim panas, dengan memakai pakaian singlet yang
bertali kecil, diletakkan pada bahunya.
Shalat mereka dalam keadaan seperti ini adalah batal menurut
mazhab Hambali dan sebagian ulama salaf. Sedangkan menurut pendapat jumhur (kebanyakan ulama’) hukumnya makruh(dibenci).
Keadaan mereka seperti ini, jika tidak terjatuh dalam kesalahan
tersebut, maka mereka terjatuh dalam kesalahan shalat dengan memakai
pakaian ketat yang membentuk aurat, atau dengan pakaian transfaran yang
menampakkan warna kulit badan sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada
edisi yang telah lewat.
sumber : http://kaahil.wordpress.com/2012/03/19/syahkah-sholat-dengan-melipatmenyingsingkanmenggulung-lengan-baju-hukum-sholat-dengan-memakai-kaos-singlet-sehingga-terbuka-bahunya/

0 comments:
Post a Comment