Wednesday, 8 May 2013

Posted by Unknown | File under :
                                                        HUKUM SHOLAT JUMAT






Shalat Jum'at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma '(kesepakatan) ulama.
Adapun dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah Subhanahu wata'ala ,
يآايهاالذين ءمنوآإذانودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذرواالبيع
Hai orang-orang beriman, apabila diseruuntuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . "(al-Jumu'ah: 9)

Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum'atan adalah Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan bergegas / bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah hal wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata'ala juga melarang berjual beli ketika azan Jum'at telah dikumandangkan agar seseorang tidak tersibukkan dari Jum'atan. Andaikata Jum'atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu wata'ala tidak melarang jual beli saat Jum'atan. (Lihat Al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya Jum'atan, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ,

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إ أربعة: عبد مملوك, أو امرأة, أو صبي, أو مريض

"Jum'atan adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit." (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1067. An- Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu '4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami' no. 3111)

Adapun ijma 'ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah menukil adanya ijma 'tentang wajibnya Jum'atan dalam dua kitab beliau, yaitu al-Ijma' dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu 'SyarhulMuhadzab (4/349) .

Prioritas Shalat Jum'at
Anugerah Allah Subhanahu wata'ala kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terbatas. Di antara penghargaan tersebut adalah shalat Jum'at yang dikerjakan oleh hamba.
Selain mendatangkan pahala, shalat Jum'at juga menjadi pembersih dosa antara Jum'at tersebut dan Jum'at berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam , beliau bersabda,

من اغتسل ثم أتى الجمعة فصلى ما قدر له ثم أنصت حتى يفرغ من خطبته ثم يصلي معه غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى وفضل ثلاثة أيام
"Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum'atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (disederhanakan) Allah Subhanahu wata'ala baginya, sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya, diampuni baginya antara Jum'at itu hingga Jum'at berikutnya , ditambah tiga hari. "(Shahih Muslim, Kitabul Jum'ah )

Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum'atan
Melaksanakan shalat Jum'at adalah syiar orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين

Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan Jum'atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata'ala akan menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang yang lalai . "(HR. Muslim dalam Shahih-nya," Kitabul Jumu'ah ", dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma )
Ketika seseorang menutup hatinya, dia akan lalai melakukan praktek yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal yang merugikan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum'atan. Juga menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan diabaikan oleh Allah Subhanahu wata'ala . (Lihat Subulus Salam2/45)

Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum'atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullahmeriwayatkandalam al-Mu'jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma , bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallambersabda (yang artinya), "Barangsiapa meninggalkan 3 Jum'atan tanpa uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin. "(Shahih at-Targhib no. 728)

Pada Siapa Shalat Jum'at Diwajibkan?
Shalat Jum'at wajib atas kaum berikut:

1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum'atan, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata'alaberfirman,

وما منعهم ان تقبل منهم نفقاتهم الآ انهم كفرواباالله وبرسوله

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya . "(at-Taubah: 54)
Ketika Allah Subhanahu wata'ala tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima. (Lihat asy-Syarhul Mumti ' 5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh tidak wajib Jum'atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian, anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih), dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum'at. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ,

مروا الصبي بالص ةال إذا بلغ سبع سنين

"Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat ketika sudah berumur tujuh tahun." (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu 'anhu . Al-'Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami')
Sementara itu, orang yang tidak berakal (gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبي حتى يشب, وعن المعتوه حتى يعقل

"Pena terangkat dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal (waras)." (Shahih Sunan at-
Tirmidzi no. 1423)

Yang dimaksud dengan "pena terangkat" adalah tidak adanya beban syariat.

2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum'at pada perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ,

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة ا أربعة: عبد مملوك, أو امرأة, أو صبي, أو مريض

"Jum'atan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat orang: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit." (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan shahih oleh an -Nawawirahimahullah dalam al-Majmu 'dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa 'No. 592)

Seseorang yang berkelamin ganda ( ambiguousgenitalia , keraguan alat kelamin,-red.) tidak wajib Jum'atan karena tidak terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya seorang itu terbebas dari
tanggungan / kewajiban sampai yakin (adanya) persyaratan yang membuatnya diwajibkan. Sementara itu, di sini belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (Asy-Syarhul Mumti '5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Teman-teman kami (ulama mazhab Syafi'i) telah berkata, 'Tidak wajib Jum'atan bagi orang (yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan tentang (kondisi) wajibnya'." ( al-Majmu 'Syarhul Muhadzdzab 4/350)

3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib Jum'atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya sehingga ia tidak leluasa. (Lihat al-Majmu '4/351, an-Nawawi rahimahullah , dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat, ketika tuannya mengizinkannya untuk Jum'atan, dia wajib menghadiri Jum'atan karena sudah tidak ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (asy-SyarhulMumti' 5/9).

4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib Jum'atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara argumen (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dahulu melakukan safar / bepergian dan beliau tidak shalat Jum'at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menunaikan haji wada 'di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum'at, beliau shalat zhuhur dan ashar dengan menjamak keduanya dan tidak shalat Jum'at. Demikian pula para al-Khulafa 'ar-Rasyidin. Mereka safar untuk haji dan selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang shalat Jum'at saat bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain al-Khulafa 'ar-Rasyidin radhiyallahu 'anhum dan yang setelah mereka. "( al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum'atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum'at. Jabir   radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah , Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar. "(Shahih Muslim," Kitabul Hajj "no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau tinggal bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama berpendapat disyariatkannya Jum'atan atas mereka karena mereka mengikuti orang-orang yang mukim.
Di antara argumennya, dahulu para sahabat yang menemukan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari, yang tampak, mereka ikut shalat Jum'at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam . (Lihat asy-Syarhul Mumti '5/15)

Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya Jum'atan pada seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib Jum'atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)

Karena tinggal menetap di suatu tempat adalah syarat wajibnya Jum'atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para Musafirin yang ada di atas kapal tidak wajib Jum'atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak sah jika mereka melakukan Jum'atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin.Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , Jum'atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan yang memang tempat tinggal. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak menetap dan berpindah-pindah.Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin hlm. 391)

5. Orang yang tidak ada udzur / halangan yang mencegahnya untuk menghadiri Jum'atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menjelaskan, "(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala hambatan yang mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum'atan. Bisa jadi, hal itu berupa sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada seorang pun yang bisa menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah (takut dari) penguasa lalim yang akan berbuat kezaliman, hujan deras yang terus-menerus, sakit yang mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk uzur juga adalah seseorang yang mengurusi jenazah yang tidak ada yang mengurusinya selain dia, yang ketika dia tinggalkan, jenazah itu akan tersia-siakan dan rusak. ( at-Tamhid16/243-244)

6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum'atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi keringanan di sini adalah ketika si sakit menghadiri Jum'atan, ia akan menemui kesulitan yang nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu, masuk pula dalam hal ini adalah seseorang yang terkena diare berat. ( al-Majmu ', an-Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang memungkinkan meninggalkan Jum'atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang terkait dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum'at, seperti aparat keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga) di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan tugasnya untuk shalat Jum'at diperkirakan akan berdampak pada lambannya penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan cepat sehingga bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah , 8/189-192)

Khutbah, Syarat Sahnya Jum'atan?
Untuk sahnya shalat Jum'at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum'at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, "Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum'atan. Tidak sah Jum'atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat 'Atha, an-Nakha'i, Qatadah, ats-Tsauri, asy-Syafi'i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ashabur Ra'yi.Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, 'Sah shalat Jum'at semuanya, apakah imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum'at adalah shalat hari raya sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha'. "
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu wata'ala ,
فاسعوا الى ذكر الله
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ' . "(al-Jumu'ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum'at dalam kondisi apa pun, padahal beliau bersabda,
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat . "(al-Mughni, 3/170-171)

Waktu Shalat Jum'at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum'at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari sampai masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam shalat Jum'at ketika matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa ' radhiyallahu 'anhu , ia berkata, "Dahulu kami shalat Jum'at bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir. "(Shahih Muslim," Kitab al-Jumu'ah ")
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu'man bin Basyir, dan 'Amr bin Huraits radhiyallahu 'anhum bahwa mereka shalat Jum'at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum'at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma , ia berkata,
كان رسول الله صل الله عليه وسلم يصلي الجمعة ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها حين تزول الشمس

"Adalah Rasulullah shalat Jum'at kemudian kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari." (HR. Muslim dalam " Kitabul Jumu'ah ")

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam shalat Jum'at sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum'atan di saat matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum'at terjadi sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum'at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-'Absi bahwa' Ammar (bin Yasir) radhiyallahu 'anhuma shalat Jum'at mengimami manusia.Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi dua kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari tergelincir dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia berkata, "Dahulu kami shalat Jum'at bersama Ali (bin Abi Thalib). Terkadang kami telah menemukan adanya bayangan dan terkadang kami belum mendapatkannya. "(Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dinyatakan shahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi'ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam shalat Jum'at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum'at sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum'at sebelum / menjelang tergelincirnya matahari itu bisa sebagaimana jika dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi'ah hlm. 25).
Wallahu a'lam .

0 comments:

Post a Comment