Para mufassir banyak memberikan keterangan ketika menafsirkan
siapakah Ulil Amri dalam surat An Nisa’ ayat 59, kesimpulannya adalah
sebagai berikut:
- Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman dan memerintah dengan adil.
- Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat.
- Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati secara mutlak baik ketika hukumnya bersesuaian dengan hukum syar’i ataupun menyelisihi. Ulil amri seperti ini tidak sah. Point ini akan dijelaskan lebih rinci dalam pembahasan berikutnya.
Ketiga point ini penting untuk kita perhatikan dalam memandang
penguasa yang memerintah di negeri-negeri berpenduduk muslim, termasuk
negeri kita Indonesia. Selain itu, penting juga untuk kita ketahui apa
saja syarat dan kewajiban seorang penguasa sehingga layak disebut ulil
amri bagi kaum Muslim.
Demikian pula, kapan ulil amri tidak sah dan layak dipecat. Semua ini
agar kita tidak ragu-ragu dalam mengambil sikap terhadap para penguasa:
apakah harus menaati atau tidak harus menaati mereka.
Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji dalam kitabnya, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah, hlm. 233-295, mengemukakan syarat-syarat tersebut sebagai berikut.
Islam, Baligh, Berakal sehat, Merdeka, Laki-laki, Berilmu, Adil, Kecakapan Mental, Kecakapan Fisik, Tidak Ambisius, Berasal dari kalangan Quraisy (Syarat ini terutama berlaku dalam al-imamah al-uzhma (khilafah) jika memang ada calon dari suku Quraisy yang mampu dan memenuhi syarat-syarat sebelumnya).
Islam, Baligh, Berakal sehat, Merdeka, Laki-laki, Berilmu, Adil, Kecakapan Mental, Kecakapan Fisik, Tidak Ambisius, Berasal dari kalangan Quraisy (Syarat ini terutama berlaku dalam al-imamah al-uzhma (khilafah) jika memang ada calon dari suku Quraisy yang mampu dan memenuhi syarat-syarat sebelumnya).
Kewajiban pertama dan pokok ulil amri adalah mewujudkan tujuan-tujuan
kepemimpinan. Kewajiban tersebut adalah, pertama, menegakkan agama dan
kedua, mengatur dunia dengan agama Islam.
Artinya, seorang pemimpin berkewajiban menerapkan hukum Allah dalam semua urusan kehidupan.
Adapun sebab-sebab pemimpin tidak sah dan layak dipecat adalah sebagai berikut.
Adapun sebab-sebab pemimpin tidak sah dan layak dipecat adalah sebagai berikut.
Pertama: Kafir dan murtad dari Islam, kedua: Tidak mengerjakan shalat dan ketiga: Tidak menerapkan hukum Allah.
Ada pernyataan penting dari Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
mengenai penguasa yang tidak menerapkan syariat Islam. Pernyataan itu
dia tulis dalam bukunya, Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash-Shâlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah.
“Adapun para pemimpin yang meniadakan syariat Allah dan tidak
berhukum kepadanya, akan tetapi berhukum kepada selainnya, maka mereka
keluar dari hak (memperoleh) ketaatan dari kaum muslimin. Tidak ada
ketaatan bagi mereka dari rakyat, karena mereka menyia-nyiakan
fungsi-fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak
didengarkan, ditaati serta tidak diberontak. Karena, wali (pemimpin)
tidak berhak mendapatkan itu, kecuali ia menunaikan urusan-urusan kaum
muslimin, menjaga dan menyebarkan agama, menegakkan hukum, menjaga
perbatasan, berjihad melawan musuh-musuh Islam setelah mereka diberi
dakwah, ber-wala’ kepada kaum muslimin, dan memusuhi musuh-musuh agama.
Apabila dia tidak menjaga agama atau tidak menunaikan urusan-urusan
kaum muslimin, maka hilanglah hak imamah darinya dan wajib atas
umat—yang diwakili oleh ahlul halli wal aqdi dimana mereka menjadi
rujukan dalam menentukan masalah seperti ini—untuk menurunkannya dan
menggantinya dengan orang lain yang siap mewujudkan fungsi imamah.
Lalu berlanjut yang keempat: Melakukan kefasikan, kezaliman, dan
kebid’ahan, kelima: Cacat dari segi keberlangsungan kerja, dan keenam:
Cacat fisik. Lihat Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah, (Riyadh: Dar Ath-Thayyibah, 1987), hlm. 468-485.
Lantas timbul pertanyaan, Apakah Presiden Republik Indonesia termasuk Ulil Amri?
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Republik Indonesia
sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 hingga hari ini tidak pernah
menyatakan sebagai negara Islam. Sejarah kita bahkan mencatat upaya
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dipandang sebagai tindak
kejahatan yang mengancam eksistensi Republik ini. Sejak presiden
pertama Sukarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Republik
Indonesia tetap berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun banyak
pejabat pemerintah yang menyatakan beragama Islam, namun Indonesia tetap
menjadi negara sekuler. Demikianlah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Pada 1954, beberapa ulama NU dalam konferensi mereka di Bogor
memutuskan bahwa Presiden Sukarno telah sah menjadi waliyul amri dharuri
yang wajib ditaati. Keputusan mereka ini mengundang reaksi dari
tokoh-tokoh Islam. Firdaus A.N., misalnya, membantah keputusan mereka
dengan menyatakan bahwa Republik Indonesia yang sekarang ini belum
menjadi Republik Islam. Sebab, sebagian besar dari hukum yang berlaku
dalam Republik ini bukan hukum Islam, bahkan undang-undang yang berlaku
di sini masih banyak undang-undang kolonial.
Waktu pun berputar dan kini sejarah berulang lagi. Sekelompok orang
pengikut pengajian “salafi” bersikukuh menganggap Presiden RI adalah
ulil amri yang wajib ditaati. Sebab, Presiden RI adalah seorang muslim
dan masih mengerjakan shalat. Presiden RI tidak pernah mengambil harta
kita, memukul punggung kita, membantai kaum Muslim, dan membunuh para
ulama. Mereka mencatut dalil Al-Qur’an dan hadits untuk membenarkan
asumsi tersebut. Terhadap orang yang menentang, mereka memvonisnya
sebagai Khawarij.
Sebagai seorang muslim yang baik serta mengikuti manhaj dan akidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak selayaknya mereka membenturkan satu
dalil dengan dalil-dalil lainnya. Sesuai dengan dalil-dalil dan pendapat
para ulama yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden RI bukanlah ulil
amri menurut istilah syar’i. Memang jika menurut bahasa, boleh-boleh
saja dia disebut ulil amri bagi rakyat Indonesia. Tetapi, makna ini
tidak mengandung konsekuensi syar’i.
Patut dipikir matang-matang apakah syarat-syarat ulil amri telah
terpenuhi pada diri Presiden RI, terutama syarat adil dan berilmu.
Sebab, sejak presiden pertama hingga presiden sekarang, semuanya adalah
penganut sekulerisme. Bahkan, presiden terakhir sebelum Presiden SBY
dengan bangga pernah menyatakan sebagai penganut pluralisme dan tidak
akan menerapkan syariat Islam. Sekulerisme maupun pluralisme agama
adalah paham sesat dan syirik yang menjadikan penganutnya cacat dalam
akidah. Jika seorang pemimpin cacat dalam akidahnya, tentu dia bukan
pemimpin yang ideal.
Presiden RI juga tidak menjalankan kewajiban-kewajiban ulil amri
seperti yang telah disebutkan. Hal ini wajar karena kewajiban-kewajiban
tersebut tidak dikenal dalam negara sekuler. Hukum yang berlaku di
negara Indonesia pun bukan hukum dan syariat Islam. Padahal, menurut
Asy-Syaukani, ulil amri adalah pemimpin yang menjalankan syariat Islam.
Rasulullah saw memerintahkan kita menaati ulil amri selama
melaksanakan Kitabullah. Apabila tidak melaksanakan Kitabullah atau
tidak menerapkan hukum Allah, maka dia tidak sah sebagai ulil amri.
Silakan diingat kembali penjelasan Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid
Al-Atsari mengenai masalah ini. Wallâhu a‘lam bish shawâb.
https://www.google.com/search?q=ulil+amri&safe=off&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=D2N-VIfVGcrIuASe0YCIDg&ved=0CAgQ_AUoAQ&biw=1280&bih=673#facrc=_&imgdii=_&imgrc=bE7o7JpN2e_GAM%253A%3ByXy-a74LAZzJgM%3Bhttp%253A%252F%252Fmuslim.or.id%252Fwp-content%252Fuploads%252F2012%252F11%252Fkhilafah.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Fmuslim.or.id%252Fmanhaj%252Fulil-amri.html%3B500%3B329
0 comments:
Post a Comment