
Syariat yang agung ini telah mengatur
penanganan kesalahan shalat yang mungkin dilakukan oleh mushali di dalamnya.
Dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan, bila seseorang keliru dalam shalatnya,
semisal kebanyakan raka’at shalat, maka diperintahkan untuk menggantinya dengan
sujud sahwi. Hanya saja ada penjelasan tambahan disana, bila dia ketika itu belum
berdiri tetapi baru beranjak, maka dia cukup kembali tidak usah sujud sahwi. Namun,
bila ia telah tegak berdiri, dia tidak perlu lagi kembali, teruskan saja raka’at
shalatnya dan barulah nanti digantikan dengan sujud sahwi. Ini adalah pendapat
jumhur ulama dari mazhab Hanafiyah,Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Bahkan sebagian ulama mengatakan,
bila posisinya ketika itu sudah mendekati berdiri (meskipun belum sempurna
berdiri) dia tidak perlu kembali untuk
duduk, tetapi dilanjutkan saja raka’atnya.
Pendapat ini diantaranya didasarkan kepada hadits dan atsar berikut
ini :
أَنَّ النَّبِيَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَقَامَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ فَسَبَّحُوا فَمَضَى فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَجَدَ
سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari
Ibnu Buhainah a, bahwa Nabi n, shalat lalu ia berdiri pada raka’at kedua (tidak
tasyahud awal), maka mereka bertasbih (untuk mengingatkan nabi), tapi Nabi
terus berdiri. Maka tatkala ia selesai shalat dia sujud dua kali kemudian baru
ia salam. (HR. An Nasa’I ; Shahih)
Rasulullah n bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فَقَامَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ فَاسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلْيَمْضِ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ ,
وَإِنْ لَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَلَا سَهْوَ عَلَيْهِ
"Apabila seseorang di antara kamu
ragu, ia berdiri dalam rakaat kedua dan ia sudah tegak berdiri maka hendaklah
ia teruskan dan tidak usah kembali lagi, dan hendaknya ia sujud dua kali.
Apabila ia belum berdiri tegak maka hendaknya ia duduk kembali dan tidak usah
sujud sahwi."
(HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruquthni)
Jadi bila kasusnya ada imam yang kebanyakan
raka’at shalat, lantas tidak tercegah ketika telah ditegur. Boleh jadi
posisinya ketika itu telah berdiri maka kita sebagai makmum wajib mengikutinya
Namun, bila adanya keyakinan sebenarnya imam itu belum sempurna berdiri, namun
ditegur tidak mengindahkan (yakni tetap melanjutkan keraka’at berikutnya) maka
bagi makmum ada dua pendapat. Pendapat pertama ia tetap mengikuti imam, berdasarkan
hadits :
إِنَّمَا جُعِلَ الاْءمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ , فَلاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَيْهِ,
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا, وَإِذَا قَالَ سَمِعَ
اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : اللَّهُمَّ رَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ,
وَإِذَاسَجَدَ فَاسْجُدُوْا, وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوْا قُعُوْدًا
أَجْمَعِيْنَ.
"Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk
diikuti, karena itu jangan kamu menyalahinya. Kemudian apabila ia sudah takbir,
maka takbirlah kamu, dan apabila ia sudah ruku’, maka ruku’lah kamu, dan
apabila ia sudah berkata, “Sami’allahu liman hamidah”, maka katakanlah,
“Allahumma rabba lakal hamdu”. Dan apabila ia sudah sujud, maka sujudlah kamu,
dan apabila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kamu dengan duduk juga
semuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan pendapat kedua mengatakan dia mufaraqah
(memisahkan diri dari imam). Namun, pendapat pertama tetap lebih utama dan selamat
untuk diikuti.
Wallahu a’alam.
0 comments:
Post a Comment